Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 28 Juni 2013

Sekolah Negeri Vs Sekolah Swasta


Dewasa ini, sekolah-sekolah swasta kian menjamur. Kualitasnya tidak kalah dari sekolah negeri favorit. Namun demikian, banyak perbedaan diantara sekolah negeri dan swasta. Inilah yang membuat beberapa orangtua mempertimbangkan hal tersebut sebelum memilihkan sekolah untuk anaknya. Apa sajakah perbedaan diantara keduanya? Berikut pendapat penulis:


1. BIAYA

Perbedaan yang pertama, tak lain dan tak bukan, adalah soal biaya. Seperti yang sudah kita ketahui, untuk SD dan SMP negeri biayanya adalah gratis, kecuali RSBI. Sedangkan untuk SMA negeri, biayanya standar dan tidak terlalu mahal, lagi-lagi kecuali RSBI. RSBI memungkinkan pihak sekolah untuk meminta bantuan operasional yang lebih mahal kepada orangtua murid karena sekolah dituntut memberikan pelayanan dan fasilitas yang berkualitas demi proses pembelajaran.

Sedangkan sekolah swasta (SD, SMP, maupun SMA) biasanya biayanya lebih mahal dan diatas rata-rata. Hal ini dikarenakan sekolah swasta memiliki visi dan misi tersendiri. Sekolah swasta memiliki standar pendidikan yang berbeda-beda bagi murid-muridnya. Misalnya sekolah swasta yang dikhususkan untuk agama tertentu.Sekolah swasta yang berkualitas tentu mematok harga yang cukup tinggi.

2. PERGAULAN

Siswa-siswi yang bersekolah di sekolah negeri memiliki lebih banyak perbedaan. Dalam hal Agama misalnya, keragaman keyakinan bisa ditemukan di sekolah negeri. Tidak seperti di sekolah swasta yang dikhususkan untuk keyakinan tertentu, siswa-siswinya sehari-hari hanya bergaul dengan teman-teman dari kalangan keyakinan yang sama sehingga mereka kurang memahami orang-orang dengan keyakinan yang berbeda.

Selain itu, latar belakang belakang keluarga siswa-siswi sekolah negeri juga lebih beragam. Berbeda dengan siswa-siswi sekolah swasta yang rata-rata berasal dari keluarga berada karena biaya masuk sekolah swasta tergolong tinggi. Sekolah negeri lebih unggul dalam hal mengajarkan anak tentang bagaimana menerima banyaknya perbedaan dalam hal agama dan kehidupan sosial masyarakat.

Pernahkan Anda mendengar bahwa pergaulan siswa-siswi sekolah swasta bersifat eksklusif? Bukan hanya karena latar belakang keluarga dengan keadaan ekonomi diatas rata-rata, tetapi juga dalam hal agama/ keyakinan, serta tidak jarang pula penggolongan ras/ suku.
Tidak bisa dipungkiri bahwa di beberapa sekolah swasta, ada yang mayoritas diisi oleh siswa-siswa dengan ras tertentu. Hal itu membuat siswa-siswa di sekolah lain yang tidak berasal dari ras yang sama menjadi enggan untuk bergaul dengan mereka, karena menganggap bahwa mereka tidak mau bergaul dengan orang-orang dari ras yang berbeda. Sementara siswa-siswa ras tersebut juga enggan bergaul dengan siswa-siswa sekolah lain yang berbeda ras karena mereka takut akan dikucilkan dengan adanya perbedaan sehingga mereka lebih memilih untuk bergaul dengan sesamanya saja. Hal inilah yang menimbulkan kesalahpahaman sehingga sekolah swasta terkesan eksklusif dan enggan membaur dengan masyarakat.

3. FASILITAS

Jika menyinggung soal fasilitas, sekolah negeri dan swasta tentu juga berbeda. Dengan biaya yang tergolong standar dari pemerintah, sekolah negeri masih kalah jika dibandingkan dengan sekolah swasta yang biayanya tidaklah murah. Biaya sekolah berpengaruh cukup besar dalam pemberian fasilitas pembelajaran.
Fasilitas kelas yang menunjang seperti air conditioner, LCD projector, laptop dan lainnya tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sekolah negeri tidak bisa secara penuh memberikan fasilitas ini kepada seluruh siswanya. Sedangkan untuk meminta bantuan dari orangtua murid dilarang pemerintah karena dianggap memberatkan masyarakat. Kecuali bagi sekolah RSBI dengan alasan yang sudah saya sebutkan diatas.
Berbeda dengan sekolah swasta yang memiliki cukup biaya untuk memberikan fasilitas yang berkualitas bagi seluruh siswa-siswinya. Tidak hanya fasilitas di dalam kelas, melainkan juga fasilitas luar kelas seperti lapangan olahraga, stadion basket milik pribadi, serta bus sekolah.

4. PENGAJAR

Tenaga pengajar atau guru pada sekolah negeri maupun sekolah swasta bisa dibilang sebelas-duabelas atau kurang lebih sama. Rata-rata tenaga pengajar sama-sama memiliki latar belakang pendidikan minimal S1, beberapa ada yang sudah S2. Yang membedakan adalah perhatian para pengajar terhadap anak didiknya.
Tidak bisa dipungkiri, jumlah siswa yang belajar di sekolah negeri jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah siswa yang belajar di sekolah swasta. Jika dalam satu kelas sekolah negeri memiliki 40 siswa, maka sekolah swasta hanya 20-30 siswa. Belum lagi jumlah kelas di sekolah negeri yang juga lebih banyak daripada jumlah kelas di sekolah swasta.
Jumlah siswa berpengaruh signifikan terhadap perhatian guru. Di sekolah negeri,guru-guru cenderung hanya memperhatikan siswa-siswa yang menonjol. Misalnya siswa yang sangat cerdas dan siswa yang sangat nakal. Sementara siswa-siswa yang lainnya kurang mendapat perhatian.
Bagaimana dengan sekolah swasta? Karena jumlah murid ideal tidak terlalu banyak, maka guru-guru bisa lebih memahami anak didiknya. Meski siswa yang cerdas dan siswa yang nakal tetap terlihat lebih menonjol, namun guru-guru sekolah swasta masih bisa memahami siswa-siswa yang lainnya, sehingga guru paham betul karakteristik setiap anak didiknya.
Terlepas dari semua kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh sekolah negeri maupun swasta, semua kembali kepada orangtua dan anak sendiri. Dimanapun nantinya orangtua akan menyekolahkan anaknya, semua tergantung kepada anak itu sendiri. Jika ia memiliki kepribadian yang kuat serta semangat belajar tinggi, maka ia akan sukses dimanapun ia bersekolah.

Pendapat Deddy Corbuzier Tentang Sekolah Indonesia


Pertama, sekolah itu PENTING. Tapi banyak hal yang salah di dalam sekolah, terutama di Indonesia. Anda tahu, banyak anak yang tidak baik di sekolahnya tapi besarnya bisa sukses. Sedangkan anak-anak yang sukses di sekolah (bukannya tidak sukses), mereka bekerja sebagai pegawai biasa. Mengapa? Karena masa depan tidak ditentukan oleh sekolah.

Kalau anda lihat, apa sih yang ingin dibentuk oleh sekolah? Menurut saya (Deddy Corbuzier) hanya satu, sekolah ingin membentuk anak didiknya menjadi guru. Ya, guru matematika ingin anak didiknya menjadi guru matematika dan guru sejarah ingin anak didiknya menjadi guru sejarah. Begitu juga dengan guru-guru lainnya. Misal kita ambil satu guru, guru matematika jika kita tes geografi maka dia tidak akan bisa mendapatkan nilai yang baik. Lalu mengapa jika guru-guru tersebut tidak bisa melakukan hal-hal yang lain dengan baik sedangkan semua murid dipaksa mendapakan semua nilainya baik? Jika gurunya saja hanya menguasai satu mata pelajaran mengapa murid harus mengetahui semua mata pelajaran? Untuk dasarkatanya. Toh guru tersebut juga sadar, saat dia dewasa dia tidak menggunakan semua mata pelajaran yang diberikan waktu kecil. Karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal, begitu juga dengan murid-murid. Murid-murid tidak akan bisa menguasai semua hal dengan baik. Dan banyak pelajaran-pelajaran yang diberikan tidak digunakan ketika dewasa.


Sekarang apanya yang mesti dirubah, sekolahnya atau sistemnya? Mengapa tidak sejak kecil ketika anak masuk SD kita lihat dulu berapa lama lalu kita bagi kelasnya? Kalau memang anak ini suka matematika, berika dia pelajaran matematika lebih banyak. Seperti orang kuliah tapi sejak kecil. Jadi sejak kecil anak ini dijuruskan ke pelajaran yang dia suka. Bukan dijejalkan dengan semua pelajaran yang dia suka atau tidak suka harus bisa, harus hafal.

Ada anak yang pintar, bisa menghafal semua tapi ketika dewasa pikirannya telah terkotaki, kreatifitasnya telah buntu, otak kanannya tidak akan jalan karena yang dipakai otak kirinya untuk menghafal, menghafal, menghafal.. Akhirnya bukan pintar, bukan cerdik tapi jago menghafal. Dan biasanya anak seperti itu pelajaran olah raga atau seninya tidak baik, karena otak kanannya tidak dipakai.

Untuk merubahnya butuh tahunan, tapi saya harap suatu saat bisa. Kalau orang tua mendukung apa yang anak suka dalam mata pelajaran, mungkin akan menjadi anak yang berhasil kedepannya. Misal pelajaran matematika jelek lalu pelajaran seni bagus, lalu mengapa yang dileskan pelajaran matematika? Mengapa tidak dileskan apa yang memang anak itu suka? Jika matematika jelek, biarkan jelek. Pelajaran yang disukai dibantu orang tua supaya lebih bagus. Memang ada pelajaran tertentu yang jika kurang akan menyebabkan anak tidak naik kelas. Kalau yang seperti itu dibantu secukupnya, tidak perlu sembilan atau sepuluh. Anda rangking satu di kelas tidak akan menjamin anda sukses ketika dewasa. Sama sekali tidak berhubungan.

Kuncinya adalah orang tua, orang tua harus mendukung apa yang anak suka. Kalau ada pelajarang yang jelek dan baik, dukung pelajaran yang nilainya baik. Jangan paksa anak untuk mempelajari yang nilainya jelek menjadi nilainya sembilan atau sepuluh. Tidak perlu takut untuk mendapat nilai jelek, tidak perlu takut untuk tidak naik kelas. Tidak naik kelas bukan berarti masa depan anda hancur. Saya harap orang-orang tua di Indonesia mendukung anak-anaknya, tidak memarahi anak-anaknya ketika ada nilai yang jelek.

Sekali lagi, masa depan anak tidak tergantung dari pintar tidaknya ketika di sekolah. Masa depan anak tidak tergantung dari naik atau tidak naik kelas. Masa depan anda juga tidak tergantung dari rapor. Tapi masa depan anda sebenarnya tergantung dari cara anda bersosialisasi, menambah pengetahuan setiap hari yang bisa didapat dari mana-mana; dari internet, dari buku, dari cerita , dari pengalaman orang lain yang anda suka. Karena masa depan bukan tergantung dari nilai sekolah anda, tapi masa depan ada di tangan anda. Jangan takut mendapatkan nilai merah, karena kadang merah artinya sukses untuk masa depan.


http://www.youtube.com/watch?v=25asoD946uw~ Dedi Corbuzier