Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 13 Juli 2013

Anindya Bakrie: Lebih Baik Buka Lapangan Kerja Ketimbang Melamar Kerja

Ratusan orang mencari pekerjaan di acara Job Fair.
Ratusan orang mencari pekerjaan di acara Job Fair. (VIVAnews/Tri Saputro)


VIVAnews – Sekitar 50 persen lulusan perguruan tinggi atau sekitar 70 juta orang di Indonesia tidak memiliki mata pencaharian. Kondisi ini semakin memprihatinkan karena mayoritas lulusan universitas lebih memilih bekerja pada suatu perusahaan dibanding menciptakan lapangan kerja.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Anindya Novian Bakrie, menyatakan mahasiswa sebagai pemuda penerus generasi bangsa saat ini  harus waspada karena setelah lulus dari universitas, mereka belum tentu aman dalam mencari pekerjaan. Apalagi tahun ini moratorium Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih berlaku.

“Jadi pilihannya, apakah teman-teman di sini ingin melanjutkan kerja keras yang telah didapat di universitas atau tidak. Kalau saya, melihatnya ini bukan hanya keinginan kerja, tapi juga tanggung jawab,” kata Anindya saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional ‘Peran Mahasiswa dalam Membangun Kemandirian Bangsa’ yang digelar Musyawarah Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia di Jakarta, Senin 4 Maret 2013.

Anindya mengatakan, jika dilihat dari sisi lapangan kerja, lulusan perguruan tinggi di Indonesia kemungkinan besar hanya memiliki dua pilihan, yakni bekerja pada perusahaan swasta atau Badan Usaha Milik Negara, atau menciptakan lapangan kerja. Anindya lantas memberikan gambaran peluang dan tantangan bagi mahasiswa usai mereka lulus dari perguruan tinggi.

Anindya mendorong para mahasiswa untuk berani mandiri membuka usaha sendiri ketimbang mencari pekerjaan di perusahaan. “Peluang yang paling terlihat kalau dilihat dari survei, orang saat ini pada umumnya sedang punya dan mau keluarkan uang. Artinya, kalau kita mau bikin usaha sendiri, ada yang mau bayar atau memberi modal,” kata dia.

Kedua, ujar Anin, saat ini kondisi ekonomi makro di Indonesia cukup bagus dengan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen. Inflasi pun cukup datar, stabil, dan tidak terlalu mengkhawatirkan. Dengan kondisi seperti ini, menurutnya, kepercayaan masyarakat domestik tinggi, begitu pula dengan pihak luar negeri. Maka itu ada banyak investasi.

Ketiga, lanjut Anindya, demokrasi di Indonesia tidak sempurna tapi berjalan. Indonesia pun secara infrastruktur lebih kuat dalam menyikapi pertumbuhan. “Tantangan banyak sekali, tapi bukan tidak bisa. Tantangan kita itu edukasi yang pas-pasan. Ini ironi karena 20 persen APBN sebesar Rp300 triliun, belum berhasil membuat masyarakat bisa mendapat pendidikan tinggi,” kata dia.

Anin pun mengatakan, faktor tantangan bagi pengusaha, dana bukanlah yang paling utama, melainkan ide dan kreativitas yang selaras dengan pasar dan edukasi. Selain Anindya, dalam acara Seminar Nasional ini hadir pula Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat, Ketua Umum DPP KNPI Taufan EN Rotorasiko, dan Sekjen Masyarakat Tambang Indonesia Ali Rahman. (eh)

Kamis, 04 Juli 2013

7 Fakta Penyebab Mutu Pendidikan di Indonesia Rendah



1. Pemebelajaran Hanya Pada Buku Paket


Di indonesia telah berganti beberapa kurikulum dari KBK menjadi KTSP. Hampir setiap menteri mengganti kurikulum lama dengan kurikulum yang baru. Namun adakah yang berbeda dari kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah? TIDAK. Karena pembelajaran di sekolah sejak jaman dulu masih memakai KURIKULUM BUKU PAKET. Sejak era 60-70an, Pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apapun kurikulumnya, guru hanya mengenal buku paket. Materi dalam buku paketlah yang menjadi "ACUAN" pengajaran guru. Sebagian Guru Tidak pernah mencari sumber refrensi lain sebagai acuan belajar.



2. Pembelajaran Dengan Metode Ceramah



Metode pembelajaran yang menjadi favorit guru mungkin hanya satu, yaitu metode berceramah. Karena berceramah itu mudah dan ringan, tanpa modal, tanpa tenaga, tanpa persiapan yang rumit, Metode ceramah menjadi metode terbanyak yang diapakai guru karena memang hanya itulah metode yang benar-benar di kuasai sebagain besar guru. Pernahkah guru mengajak anak berkeliling sekolahnya untuk belajar ? Pernahkah guru membawa siswanya melakukan percobaan di alam lingkungan sekitar ? Atau pernahkah guru membawa seorang ilmuwan langsung datang di kelas untuk menjelaskan profesinya? mungkin hanya satu alasannya, yaitu Biaya.




3. Kurangnya Sarana Belajar



Sebenarnya, perhatian pemerintah itu sudah cukup, namun masih kurang cukup. Pemerintah yang semangat memberikan pelatihan pengajaran yang PAIKEM (dulunya PAKEM) tanpa memberikan pelatihan yang benar-benar memberi dampak dan pengaruh. Malah sebaliknya, pelatihan metode PAIKEM oleh pemerintah dilaksanakan dengan hanya berupa Ocehan belaka.
4. Peraturan Yang Terlalu MengikatIni tentang KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang seharusnya sekolah memiliki kurikulum sendiri sesuai dengan karakteristiknya. Namun apa yang terjadi? Karena tuntutan RPP, SILABUS yang "membelenggu" kreatifitas guru dan sekolah dalam mengembangkan kekuatannya. Yang terjadi RPP banyak yang jiplakan (bahkan ada lho RPP dijual bebas, siapapun boleh meniru). Padahal RPP seharusnya unik sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah. Administrasi-administrasi yang "membelenggu" guru, yang menjadikan guru lebih terfokus pada administrator, sehingga guru lupa fungsi utama lainnya sebagai mediator, motivator, akselerator, fasilitator, dan lainnya.



5. Guru Tidak Menanamkan Soal Bertanya




Lihatlah pembelajaran di ruang kelas. Sepertinya sudah diseragamkan. Anak duduk rapi, tangan dilipat di meja, mendengarkan guru menjelaskan. seolah-olah Anak "Dipaksa" mendengar dan mendapatkan informasi sejak pagi sampai siang, belum lagi ada sekolah yang menerapkan Full Days. Anak diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan guru, sementara kompetensi bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam saat guru menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa tidak dilatih untuk bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa tidak berani bertanya. Selesai mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana kelas. Yang bertanya biasanya anak-anak itu saja.


6. Metode Pertanyaan Terbuka Tidak Terpakai



Salah satu ciri negara FINLANDIA yang merupakan negara ranking pertama kualitas pendidikannya adalah dalam ujian guru memberkan soal terbuka, siwa boleh menjawab soal dengan membaca buku. Sedangkan Di Indoneisa? tidak mungkin, guru pasti sudah berfikir, "nanti banyak yang nyontek dong," begitu kata seorang guru. Guru Indonesia belum siap menerapkan ini karena masih kesulitan membuat soal terbuka. Soal terbuka seolah-olah beban berat. Mendingan soal tertutup atau soal pilihan ganda, menilainya mudah, begitu kira-kira alasan guru sekarang.

7. Fakta Tentang Menyontek




Siswa menyontek itu biasa terjadi. tapi, guru tidak akan lelah untuk memperingatkannya, Tapi apakah kalian tahu kalau "guru juga menyontek" ? Ini lebih parah. Lihatlah tes-tes yang diikuti guru, tes pegawai negeri yang di ikuti guru, menyontek telah merasuki sosok guru. guru aja menyontek apalagi siswanya